Sultan Maulana Hasanuddin
Pendiri Kesultanan Banten
Kalau bicara sejarah Banten, satu nama yang nyaris selalu muncul di bab pertama adalah Sultan Maulana Hasanuddin. Ia dikenal sebagai sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Banten — sosok yang mengambil keputusan-keputusan penting sehingga Banten berkembang menjadi pusat perdagangan lada dan kota pelabuhan yang disegani pada abad ke-16. Artikel ini menyajikan paparan lengkap: silsilah, perjalanan politik, cerita rakyat yang hidup di masyarakat, jejak arsitektur yang masih berdiri, serta warisan budaya yang bertahan sampai hari ini.
Silsilah & Namanya
Maulana Hasanuddin akrab juga disebut Pangeran Sabakingking atau Sabakingking di tradisi lisan Banten. Ia adalah putra dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan Nyai Ratu Kawunganten, serta masuk dalam jaringan kekerabatan ulama dan bangsawan yang menghubungkan Cirebon, Demak, dan pesisir barat Jawa. Dalam tradisi keluarga, garis keturunannya juga dirangkaikan dengan jejak sayyid (keturunan Nabi) yang umum ditemukan pada keluarga-keluarga Wali Songo dan elite Islam pada masa itu.
Latar Politik & Konteks Regional
Abad ke-16 di Nusantara adalah masa transisi besar: setelah jatuhnya Malaka ke Portugis pada 1511, jalur dagang rempah bergeser dan pesisir-pesisir alternatif menjadi semakin penting. Selat Sunda adalah salah satu rute utama — maka pesisir barat Jawa, termasuk Banten, memperoleh posisi strategis baru. Di sinilah kebijakan memindahkan pusat kekuasaan dari pedalaman (Banten Girang) ke pesisir (Banten Lama/Surosowan) menjadi langkah yang sangat penting secara ekonomi dan politik.
Cerita Rakyat yang Melekat
Sejarah resmi sering bertemu dengan kisah-kisah rakyat yang kaya warna. Di Banten, ada legenda terkenal tentang "adu ayam" antara Hasanuddin (Sabakingking) dan Prabu Pucuk Umun. Versi yang sering diceritakan menyebut kedua tokoh sepakat menyelesaikan perselisihan melalui duel ayam sakti di lereng Gunung Karang. Menurut cerita rakyat, ayam milik Hasanuddin memenangkan duel tersebut — sebuah simbol bahwa jalan bagi perkembangan Islam di Banten mendapatkan legitimasi.
Para sejarawan membaca kisah ini sebagai metafora perlahan-lahan beralihnya kekuasaan lokal dari struktur Sunda pra-Islam menuju tatanan Islam baru di pesisir. Legenda semacam ini memperlihatkan bagaimana masyarakat "memori-kan" peristiwa penting lewat simbol dan cerita yang mudah diingat.
Perpindahan Pusat dari Banten Girang ke Banten Lama
Salah satu keputusan paling visioner yang dihubungkan dengan Hasanuddin adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Banten Girang (lokasi pedalaman yang lama) ke Banten Lama atau Surosowan di pesisir. Langkah ini menghubungkan kerajaan langsung ke pasar internasional, memungkinkan pungutan cukai, kontrol ekspor lada, dan interaksi diplomatik yang lebih efisien. Tata kota baru di Surosowan merefleksikan pola kota pelabuhan: alun–alun, masjid agung, keraton, pasar, dan gudang-gudang penyimpanan lada.
Masjid Agung Banten: Ibadah, Identitas, dan Landmark
Masjid Agung Banten adalah salah satu warisan paling kentara dari era awal Kesultanan Banten. Dibangun pada masa Hasanuddin, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah — ia menjadi pusat pendidikan agama, pusat sosial, sekaligus simbol martabat kota pelabuhan. Menara masjid yang khas berfungsi juga sebagai penanda suara (tempat azan) dan landmark yang mudah dikenali pelaut dari laut. Kompleks masjid ini menyimpan makam-makam para sultan, termasuk makam Sultan Maulana Hasanuddin, yang menjadikannya destinasi ziarah sekaligus situs budaya.
Ki Amuk dan ki jagur, Kekuatan Pertahanan Pelabuhan
Meriam-meriam tua seperti Ki Amuk dan ki jagur menjadi bagian dari wacana sejarah Banten: simbol kekuatan pertahanan pelabuhan yang penting bagi kerajaan dagang. Eksistensi meriam-meriam ini mengisyaratkan bahwa Banten memanfaatkan teknologi militer maritim untuk menjaga keamanan pelabuhan dan perdagangan lada. Selain berfungsi secara praktis, benda-benda seperti Ki Amuk juga diperkuat maknanya dalam tradisi lokal sebagai benda keramat.
Kebijakan Ekonomi dan Jaringan Perdagangan
Hasanuddin memosisikan Banten sebagai bandar lada — komoditas utama pada era itu. Dengan memusatkan aktivitas ekonomi di pelabuhan, Banten dapat mengumpulkan pajak ekspor-impor, mengatur gudang-gudang penyimpanan, dan menjalin kontrak dagang dengan jaringan pedagang Nusantara, India, Arab, dan bahkan pedagang Eropa yang melintasi Selat Sunda. Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan kombinasi antara visi ekonomi dan kelembagaan yang matang.
Keraton Surosowan & Jejak Arsitektur Kota
Di pusat Banten Lama berdiri Keraton Surosowan, kompleks istana yang berfungsi sebagai pusat administrasi, upacara, dan simbol kedaulatan. Tata ruang kota yang muncul: alun–alun di hadapan masjid, pasar yang hidup, gudang-gudang, hingga pelabuhan—semua menunjukkan pola kota pesisir Nusantara yang menggabungkan fungsi praktis dan simbolis. Hari ini banyak bagian Surosowan dalam kondisi reruntuhan, namun rangka tata kotanya masih terlihat untuk orang yang menyusuri situs-situs sejarah itu.
Garis Besar Pemerintahan
Rentang ringkas kepemimpinan Maulana Hasanuddin sering dirangkum sebagai berikut (urutan kronologis untuk membantu pembaca):
- Sebelum 1526 — Banten masih dominan oleh struktur kerajaan Sunda pedalaman di Banten Girang.
- 1526–1527 — Intervensi politik dan dakwah dari Cirebon/Demak; pengaruh Sunan Gunung Jati terasa kuat.
- ~1552 — Penobatan Maulana Hasanuddin sebagai raja/sultan Banten (momentum transisi resmi ke politik kesultanan).
- 1556 — Pembangunan awal Masjid Agung Banten (fase awal pendirian fasilitas keagamaan pusat).
- 1560-an — Pengerjaan menara masjid dan penguatan tata kota Surosowan; Banten berkembang sebagai pelabuhan lada.
- 1570 — Wafatnya Hasanuddin; makam di kompleks Masjid Agung menjadi tempat ziarah. Tahta dilanjutkan oleh Maulana Yusuf.
Penerus & Silsilah Kerajaan
Setelah Hasanuddin wafat, tongkat estafet pemerintahan diteruskan oleh Maulana Yusuf yang pada akhir abad ke-16 memperluas pengaruh Banten hingga menantang sisa-sisa kekuasaan Pajajaran. Silsilah dinasti yang dimulai oleh Hasanuddin kemudian berlangsung berkelanjutan—membentuk garis penguasa yang member warna politik dan budaya Banten selama beberapa abad.
Gaya Kepemimpinan: Iman dan Praktikalitas
Maulana Hasanuddin dapat digambarkan sebagai sosok yang menggabungkan religiositas dan nalar pemerintahan praktis. Ia memanfaatkan legitimasi keagamaan (sebagai putra Sunan Gunung Jati) untuk mendukung kebijakan-kebijakan negeri. Namun keputusan-keputusan pentingnya, terutama soal pemindahan pusat pemerintahan dan penataan pelabuhan, menunjukkan visi negara dan ekonomi yang tajam—sifat yang jarang dimiliki pemimpin pada masa yang begitu dinamis.
Cerita-Cerita Pinggiran & Tokoh Lokal
Selain nama-nama besar, sejarah Banten juga diwarnai tokoh-tokoh lokal dan wali yang muncul di cerita rakyat: nama-nama seperti Ki Mas Jong, Agus Ju/Ajar Jo, dan figur-figur lain yang konon ikut menyokong Hasanuddin. Mereka sering muncul dalam narasi lisan yang melengkapi cerita besar: mengisahkan konversi, pengorbanan, hingga contoh kepemimpinan lokal yang berperan sebagai penunjang integrasi budaya baru di pesisir.
Jejak Ziarah & Toponimi
Banyak lokasi di Banten yang namanya masih mengabadikan peristiwa dan tokoh dari masa awal kesultanan: Banten Girang, Surosowan, Gunung Karang, hingga kampung-kampung yang memegang tradisi ziarah. Makam Sultan Maulana Hasanuddin di kompleks Masjid Agung menjadi titik konsolidasi memori kolektif: peziarah datang bukan hanya untuk keagamaan tetapi juga mengingat sejarah dan identitas bersama.
Warisan Budaya yang Bisa Dipelajari Hari Ini
- Visi dalam tata ruang: Pemindahan ibu kota dari hulu ke hilir sebagai pelajaran tentang pentingnya akses, infrastruktur, dan integrasi ekonomi.
- Perpaduan agama dan ekonomi: Banten menunjukkan bahwa dakwah dan perdagangan dapat berjalan serasi, asalkan diorganisir dengan kebijakan yang jelas.
- Pelestarian situs: Merawat reruntuhan Surosowan, Masjid Agung, dan artefak seperti Ki Amuk adalah kunci menjaga identitas lokal.
- Narasi budaya: Menghormati cerita rakyat sebagai bagian dari arsip tak tertulis yang memberi makna bagi generasi sekarang.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Muncul)
Apa nama asli Sultan Maulana Hasanuddin?
Di tradisi lisan ia kerap disebut Pangeran Sabakingking. Nama "Hasanuddin" adalah nama kehormatan yang mencerminkan gelar keagamaan dan statusnya sebagai sultan.
Dimana makamnya berada?
Makam Sultan Maulana Hasanuddin ada di kompleks Masjid Agung Banten—lokasi yang juga menjadi pusat ziarah dan acara keagamaan.
Apakah cerita adu ayam itu benar-benar terjadi?
Cerita tersebut lebih cocok dipahami sebagai metafora simbolik untuk menggambarkan transisi politik dan budaya. Para sejarawan menganggapnya sebagai bagian dari tradisi tutur yang menyederhanakan peristiwa besar menjadi narasi mudah diingat.
Referensi & Sumber Bacaan (Ringkas)
Untuk pembaca yang ingin menggali lebih jauh, gunakan kombinasi sumber: kajian sejarah akademik tentang Kesultanan Banten, hasil penelitian arkeologi di Banten Lama dan Banten Girang, serta koleksi tradisi lisan lokal—karena ketiganya saling melengkapi membentuk gambaran lebih utuh.
Penutup
Sultan Maulana Hasanuddin bukan hanya tokoh sejarah yang menempati lembar buku; ia adalah arsitek awal yang merancang arah Banten sebagai kota pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat kebudayaan Islam di pesisir barat Jawa. Jejaknya tersisa di Masjid Agung, di reruntuhan Keraton Surosowan, pada nama-nama tempat di bumi Banten, dan di cerita-cerita rakyat yang terus mengalir di mulut-mulut warga. Menyimak kisahnya berarti memahami bagaimana sebuah komunitas memilih arah: antara mempertahankan akar tradisi dan membuka diri pada dunia luas yang datang lewat laut.
Posting Komentar untuk "Sultan Maulana Hasanuddin"